Kalau ada hari yang bisa merangkum perbedaan nasib dua klub sepakbola paling sukses di Inggris, Sabtu (16/4) kemarin harinya.

Ketika fans Liverpool berpesta di Wembley akhir pekan lalu, fans Manchester United berunjuk rasa di luar Old Trafford. Ketika para Kopite mengelu-elukan pahlawan mereka dalam semburat merah, Paul Pogba — pemain termahal dalam sejarah United — disoraki dan dilempari umpantan “f**k off” oleh fans-nya sendiri.

Dan ketika serdadu pemburu-quadruple Jurgen Klopp berhasil melangkahi Manchester City untuk mencapai final kedua mereka musim ini, anak asuh pesakitan Ralf Rangnick mesti susah payah mengalahkan tim terburuk di Liga Primer Inggris, dan harus mengandalkan kepiawaian seorang pria berusia 37 tahun, serta inkonsistensi Tottenham & Arsenal, untuk menjaga asa empat besar mereka.

Semua pun makin sempurna Rabu (20/4) dini hari WIB tadi, dua dunia berjibaku di Anfield: Sang Progres melawan Sang Protes; kolektif Klopp versus tim individualis Rangnick. Hasilnya? Manchester United dibantai Liverpool 4-0.

Liverpool kini menduduki puncak Liga Inggris berkat kemenangan tersebut, sesuai prediksi banyak orang. Bukankah itu sudah cukup untuk mengisahkan betapa kacaunya United sekarang?

Apa yang terjadi di pertarungan Rabu dini hari tadi semakin memantapkan fakta bahwa ini adalah musim yang penuh nestapa buat The Red Devils. Musim yang dimulai dengan optimisme membara tetapi bakal berakhir seperti sedia kala, dengan perdebatan soal cuci gudang, reshuffle pemain, dan semacamnya.

Sepertinya belum ada yang berubah, tetapi harus berubah, kalau kampiun Liga Inggris 20 kali itu mau kembali bersaing di papan atas Eropa dan Britania.

Rasanya aneh kalau mengingat musim lalu, United-lah yang finis sebagai pesaing terdekat Manchester City.

Dan, meneruskan momentum finis runner-up dengan memboyong Jadon Sancho, Raphael Varane, serta secara spektakuler memulangkan Cristiano Ronaldo, Manchester United yang digadang-gadang akan menjadi pemburu gelar juara di awal musim 2021/22.

Betapa luar biasa salah prediksi tersebut. Kini mereka terpaut 22 poin dari Liverpool di puncak, yang juga masih menyisakan satu laga lebih banyak.

Kalau bukan karena keamburadulan Spurs dan limbungnya Arsenal, MU pasti sudah membuang jauh-jauh mimpi lolos Liga Champions.

Manajer baru – yang kemungkinan besar adalah Erik ten Hag-nya Ajax – akan tiba musim panas nanti, manajer permanen kelima semenjak Sir Alex Ferguson pensiun tahun 2013. Waktu itu United berstatus juara bertahan, tetapi bahkan dulu jarak United dengan puncak jarang selebar ini.

Di sisi lain, tak ada kekhawatiran seperti itu di Liverpool, yang bakal menyamai jumlah capaian gelar Liga Inggris MU kalau berhasil menyalip Man City musim ini, dan sudah mengantongi Piala Liga Inggris dan masih berkompetisi di semi-final Liga Champions & final Piala FA.

Di saat musuh besar mereka terseok, The Reds melaju tanpa henti.

Inilah salah satu keunikan rivalitas kedua tim: ketika yang satu terbang tinggi, satunya lagi (biasanya) terjembab di kubangan. Jarang mereka berada di puncak performa berbarengan, dan kini United takut bakal butuh waktu bertahun-tahun sebelum bisa menyaingi Liverpool dan Man City secara serius.

Oh, mereka tak akan mengakuinya, setidaknya tidak di depan umum, tetapi United tahu mereka harus meneladani cetak biru Liverpool kalau mau bangkit.

Soal pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan kepakaran, Liverpool adalah standarnya. Bermetamorfosis dari sekelompok pecundang menjadi juara hanya dalam kurun lima tahun di bawah asuhan Klopp.

Fenway Sports Group (FSG) jelas sudah bikin berbagai macam kesalahan – prahara European Super League akan menjadi noda yang sulit dihilangkan – tetapi mereka juga masternya dalam membangun struktur sepakbola berkelanjutan, menempatan orang yang tepat dalam peran yang tepat, menunjuk manajer yang tepat untuk menjahit semuanya dan menyatukan basis suporter ketika dibutuhkan, dan dengan cepat serta cerdas membangun sebuah tim, sebuah skuad, yang bisa dibilang salah satu yang paling bagus di dunia sepakbola.

Bandingkan progres pasti – dan sensasional – Liverpool di bawah Klopp dengan rollercoaster dan naik turunnya United di bawah berbagai manajer, dan Anda bisa tahu persis apa masalah mereka.

Bandingkan transfer yang dilakukan kedua klub, dan Anda bisa melihat apa yang terjadi ketika borok dalam tubuh United dibiarkan tumbuh begitu saja.

Pepatah berkata, ikan busuk mulai dari kepala, dan United suduh membusuk bahkan sebelum Ferguson pergi. Ada alasan mengapa LUHG (Love United, Hate Glazers) menjadi jargon yang dipilih fans yang protes.

Kebijakan transfer mereka liar sekali, dan mahal luar biasa.

Di saat Liverpool sukses mengidentifikasi talenta kunci – Alisson Becker, Virgil van Dijk, Fabinho, Mohamed Salah, Sadio Mane – dan mencaplok pemain underrated seperti Andy Robertson, Man United malah buang-buang jutaan pound sterling buat pemain (dan manajer) yang menjanjikan dunia, tetapi malah mendatangkan gundah gulana.

Contohnya: siapa saja sih, menurut Anda, pemain Man United yang dijamin sukses di bawah Ten Hag? Mungkin David De Gea? Atau Bruno Fernandes? Barangkali Jadon Sancho?

Jadon Sancho Manchester United Premier League 2021-22 GFX

Getty

Status kebintangan Varane dan Ronaldo tak bisa diabaikan, tetapi sisanya? Tanda tanya besar.

Pogba santer dikabarkan akan pergi musim panas nanti, seonggok pembelian £89 juta yang akhirnya pergi secara cuma-cuma, dan nama-nama seperti Nemanja Matic, Juan Mata, Jesse Lingard, Anthony Martial, Marcus Rashford, hingga Edinson Cavani kemungkinan besar bakal mengikuti jejaknya.

Pemain seperti Harry Maguire, Aaron Wan Bissaka, Fred, Victor Lindelof, Alex Telles, Eric Bailly, dan Luke Shaw memakan biaya £300 juta jika ditotal (cuma biaya transfer saja, tak termasuk biaya agen dan gaji), dan rasanya belum bisa menebus harga mereka.

Sementara itu Liverpool sudah mulai membangun pion-pion pasukan Klopp masa depan.

Impak Luis Diaz, Diogo Jota, dan Ibrahima Konate, yang semuanya dibeli dalam dua tahun terakhir, sudah terasa jelas, sementara itu bintang remaja Fulham, Fabio Carvalho bakal datang musim panas nanti, bergabung dengan skuad yang sudah diperkuat youngster mutu jempolan seperti Harvey Elliott, Curtis Jones, Kaide Gordon, dan si brilian Trent Alexander-Arnold yang baru berusia 23 tahun.

Apa pun yang terjadi di sisa musim 2021/22, Liverpool sudah mendirikan fondasi untuk menjadi hegemon di tahun-tahun ke depan. Mereka sudah punya manajer yang tepat, pemain pilihan, serta staff dan struktur yang mumpuni untuk bersaing hingga puncak kejayaan.

By BeritaSkor

BeritaSkor - Situs Berita dan Update Skor Terbaru (Update Setiap Hari)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *